"Nabi Muhammad Keturunan Jawa?" Jangan Sembrono, Baca Ini Dulu
Mungkin judul di atas terlalu aneh. Tapi begitulah, ternyata ramai tulisan di blog, web dan jejaring sosial membahas tentang ini.
Salah satu lini masa dari akun @SufiKota milik seorang penulis Chandra Malik memaparkan pandangan Cak Nun tentang garis keturunan Nabi Muhammad, yang mengarah pada dugaan bahwa Nabi Muhammad bukan berasal dari Arab asli, melainkan ada darah Jawanya. Di antara saduran dari tulisan tersebut adalah kalimat, “Muhammad SAW layak diduga sebagai seorang Arab-Jawa. Bukan Arab tulen.”
Ciri fisik Nabi Shallallahu alaihi wasallam
Entah ini hanya lucu-lucuan saja atau mencari sensasi, meskipun terlalu sembrono menjadikan Nabi Muhammad shallallahu sebagai bahan lelucon atau mencari sensasi. Memang belum sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah keturunan Arab Jawa dan statemen hanya mencapai ‘layak diduga seorang Arab-Jawa’, namun analisa-analisa yang dikemukakan cukup membahayakan fikrah dan keyakinan.
Terlebih pada beberapa bagian sangat rawan dengan unsur buruk sangka terhadap Nabi dan sebagiannya ada unsur-unsur penodaan diri beliau.
Di antara yang dijadikan bahan analisa adalah seperti yang tertulis,
“Muhammad SAW menolak digambar wajahnya demi menghindari kontroversi pada masa setelah ia wafat. Kontroversi itu terutama mengenai ciri fisik Muhammad SAW yang layak diduga tidak persis Arab tulen.”
Ungkapan ini mengandung sangkaan buruk terhadap beliau. Seakan beliau menyembunyikan nasab beliau yang asli atau ingin menyembunyikan jati dirinya yang diduga bukan keturunan Arab tulen. Untuk tujuan itu lalu Nabi menutupi dengan cara melarang umatnya menggambar fisik beliau.
Faktanya, meskipun ada larangan menggambar wajah dan fisik beliau tapi tak ada larangan untuk menggambarkan dengan kata-kata. Imam at-Tirmidzi bahkan mengumpulkan secara khusus hadits-hadits tentang karakter Nabi secara khalqiyah (fisik) maupun secara khuluqiyah secara detil. Yakni dalam kitabnya Syama’il Muhammadiyah, intinya bahwa secara fisik beliau adalah sebagus-bagus fisik orang Arab.
Nasab Nabi Shallallahi alaihi wasallam Memang Arab Asli
Adapun tentang nasab beliau, alhamdulillah, telah beliau jelaskan sendiri asal usulnya, sehingga tidak perlu mengada-ada atau memaksakan diri. Jelas disebutkan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau berasal dari Arab tulen. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,
“Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)
Jika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diklaim sebagai Arab keturunan Jawa, kenapa tidak sekalian seluruh orang Arab atau seluruh orang Quraisy diklaim sebagai keturunan Jawa, termasuk di dalamnya Abu Jahal.
Alasan yang sangat tidak ilmiah juga dikemukakan dalam tulisan itu,
“Mn Kamba mengkonfirmasi bahwa tidak ada nama Siti di masyarakat Arab tulen. Siti bukan Bahasa Arab. Muhammad SAW berasal dari garis silsilah Ibrahim AS dari Siti Hajar. Hajar juga bukan Bahasa Arab. Siti Hajar layak diduga bukan arab tulen, melainkan imigran.
“Kalau bukan dari Klaten, ya dari Solo.” Siti Hajar didatangkan untuk diperistri dan penghibur atas hati Ibrahim yang gundah. Bukan Arab tulen. Siti dan Hajar adalah Bahasa Jawa. Siti = tanah = bumi. Hajar = ajar = mengajar. Tulen Jawa.”
Ini argumen yang menggelikan. Karena tidak ada satupun dalil dan nash yang menyebut kata “Siti”. Tambahan itu hanya dikenal oleh masyarakat Jawa, yang menambahi orang Jawa, lantas kenapa kemudian ibu beliau Aminah dan Hajar diklaim sebagai keturunan Jawa. Tafsiran yang lebih dekat adalah, kata “siti” berasal dari kata “sayyidah” (puan, yang dimuliakan), yang kemudian diucapkan oleh lidah Jawa dengan sebutan Siti.
Perilaku dan Kebiasaan Nabi
Lebih lanjut tulisan itu menggiring opini pembaca dengan kalimat,
“Muhammad SAW suka bertapa [khalwat]. Bangsa Arab tulen tak punya tradisi ini. Bertapa itu khas Jawa.”
Padahal, cara semedi atau bertapanya orang Jawa itu mengadopsi dari tradisi Hindu di India, atau setidaknya lebih mirip dengan perilaku penganut Hindu di India, kenapa orang-orang India tidak diklaim sekalian sebagai keturunan Jawa. Adapun tahannuts (mengasingkan diri dari orang banyak) yang dilakukan oleh Nabi adalah hal yang dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu non Jawa, seperti banyak disebutan kisah-kisah tentang kaum Bani Israel. Kisah Ashhabul Ukhdud yang mengasingkan diri dari kaumnya juga menjadi salah satu contoh.
Pada paragraf yang lain disebutkan juga,
“Tutur kata Muhammad SAW lemah-lembut. Mana ada orang Arab [tulen] yang begitu, terutama pada masa itu? Tutur kata lemah-lembut ini khas Jawa, berbeda jauh dari style Arab yang suka bicara kasar dan meledak-ledak. Gesture dan tutur kata Muhammad SAW ini menjadi magnet sehingga kehadirannya menyedot perhatian Arab-Arab tulen.”
Ini adalah analisa orang yang Arab phobia dan terlalu membanggakan kejawennya. Padahal faktanya, saat di mana Nabi diutus, di sana banyak para penyair, sastrawan dan ahli bahasa. Kelembutan tutur kata juga telah menjadi nilai plus di kalangan orang Arab. Dan sayangnya, sisi ketegasan Nabi tidak ditampakkan dalam tulisan itu, karakter yang lebih dekat dimiliki kebanyakan orang-orang Arab dibanding orang-orang Jawa.
Walhasil, untuk memuliakan kaum, tak perlu menyeret paksa nasab Nabi supaya pantas menjadi keturunan Jawa, sehingga Pulau Jawa terangkat namanya. Cukup dengan mengusahakan takwa untuk mewujudkannya. Karena tak ada bedanya antara kemuliaan orang Arab maupun non Arab, yang menentukan kemuliaan antara satu dengan yang lain adalah tingkatan takwanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Ketahuilah, tak ada keutamaan orang Arab di atas non Arab, atau orang non Arab di atas orang Arab, yang berkulit merah di atas orang yang berkulit hitam, yang berkulit hitam di atas orang yang berkulit merah, melainkan dengan takwa. “ (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)
Wallahu a’lam bisshawab.
Salah satu lini masa dari akun @SufiKota milik seorang penulis Chandra Malik memaparkan pandangan Cak Nun tentang garis keturunan Nabi Muhammad, yang mengarah pada dugaan bahwa Nabi Muhammad bukan berasal dari Arab asli, melainkan ada darah Jawanya. Di antara saduran dari tulisan tersebut adalah kalimat, “Muhammad SAW layak diduga sebagai seorang Arab-Jawa. Bukan Arab tulen.”
Ciri fisik Nabi Shallallahu alaihi wasallam
Entah ini hanya lucu-lucuan saja atau mencari sensasi, meskipun terlalu sembrono menjadikan Nabi Muhammad shallallahu sebagai bahan lelucon atau mencari sensasi. Memang belum sampai pada kesimpulan bahwa Nabi Muhammad adalah keturunan Arab Jawa dan statemen hanya mencapai ‘layak diduga seorang Arab-Jawa’, namun analisa-analisa yang dikemukakan cukup membahayakan fikrah dan keyakinan.
Terlebih pada beberapa bagian sangat rawan dengan unsur buruk sangka terhadap Nabi dan sebagiannya ada unsur-unsur penodaan diri beliau.
Di antara yang dijadikan bahan analisa adalah seperti yang tertulis,
“Muhammad SAW menolak digambar wajahnya demi menghindari kontroversi pada masa setelah ia wafat. Kontroversi itu terutama mengenai ciri fisik Muhammad SAW yang layak diduga tidak persis Arab tulen.”
Ungkapan ini mengandung sangkaan buruk terhadap beliau. Seakan beliau menyembunyikan nasab beliau yang asli atau ingin menyembunyikan jati dirinya yang diduga bukan keturunan Arab tulen. Untuk tujuan itu lalu Nabi menutupi dengan cara melarang umatnya menggambar fisik beliau.
Faktanya, meskipun ada larangan menggambar wajah dan fisik beliau tapi tak ada larangan untuk menggambarkan dengan kata-kata. Imam at-Tirmidzi bahkan mengumpulkan secara khusus hadits-hadits tentang karakter Nabi secara khalqiyah (fisik) maupun secara khuluqiyah secara detil. Yakni dalam kitabnya Syama’il Muhammadiyah, intinya bahwa secara fisik beliau adalah sebagus-bagus fisik orang Arab.
Nasab Nabi Shallallahi alaihi wasallam Memang Arab Asli
Adapun tentang nasab beliau, alhamdulillah, telah beliau jelaskan sendiri asal usulnya, sehingga tidak perlu mengada-ada atau memaksakan diri. Jelas disebutkan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau berasal dari Arab tulen. Sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam,
إنَّ اللهَ اصطفَى كِنانةَ من ولدِ إسماعيلَ . واصطفَى قريشًا من كنانةَ . واصطفَى من قريشٍ بني هاشمَ . واصطفاني من بني هاشمَ
“Allah telah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il, dan memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan memilih aku dari keturunan Bani Hasyim” (HR. Muslim 2276)
Jika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diklaim sebagai Arab keturunan Jawa, kenapa tidak sekalian seluruh orang Arab atau seluruh orang Quraisy diklaim sebagai keturunan Jawa, termasuk di dalamnya Abu Jahal.
Alasan yang sangat tidak ilmiah juga dikemukakan dalam tulisan itu,
“Mn Kamba mengkonfirmasi bahwa tidak ada nama Siti di masyarakat Arab tulen. Siti bukan Bahasa Arab. Muhammad SAW berasal dari garis silsilah Ibrahim AS dari Siti Hajar. Hajar juga bukan Bahasa Arab. Siti Hajar layak diduga bukan arab tulen, melainkan imigran.
“Kalau bukan dari Klaten, ya dari Solo.” Siti Hajar didatangkan untuk diperistri dan penghibur atas hati Ibrahim yang gundah. Bukan Arab tulen. Siti dan Hajar adalah Bahasa Jawa. Siti = tanah = bumi. Hajar = ajar = mengajar. Tulen Jawa.”
Ini argumen yang menggelikan. Karena tidak ada satupun dalil dan nash yang menyebut kata “Siti”. Tambahan itu hanya dikenal oleh masyarakat Jawa, yang menambahi orang Jawa, lantas kenapa kemudian ibu beliau Aminah dan Hajar diklaim sebagai keturunan Jawa. Tafsiran yang lebih dekat adalah, kata “siti” berasal dari kata “sayyidah” (puan, yang dimuliakan), yang kemudian diucapkan oleh lidah Jawa dengan sebutan Siti.
Perilaku dan Kebiasaan Nabi
Lebih lanjut tulisan itu menggiring opini pembaca dengan kalimat,
“Muhammad SAW suka bertapa [khalwat]. Bangsa Arab tulen tak punya tradisi ini. Bertapa itu khas Jawa.”
Padahal, cara semedi atau bertapanya orang Jawa itu mengadopsi dari tradisi Hindu di India, atau setidaknya lebih mirip dengan perilaku penganut Hindu di India, kenapa orang-orang India tidak diklaim sekalian sebagai keturunan Jawa. Adapun tahannuts (mengasingkan diri dari orang banyak) yang dilakukan oleh Nabi adalah hal yang dilakukan oleh kaum-kaum terdahulu non Jawa, seperti banyak disebutan kisah-kisah tentang kaum Bani Israel. Kisah Ashhabul Ukhdud yang mengasingkan diri dari kaumnya juga menjadi salah satu contoh.
Pada paragraf yang lain disebutkan juga,
“Tutur kata Muhammad SAW lemah-lembut. Mana ada orang Arab [tulen] yang begitu, terutama pada masa itu? Tutur kata lemah-lembut ini khas Jawa, berbeda jauh dari style Arab yang suka bicara kasar dan meledak-ledak. Gesture dan tutur kata Muhammad SAW ini menjadi magnet sehingga kehadirannya menyedot perhatian Arab-Arab tulen.”
Ini adalah analisa orang yang Arab phobia dan terlalu membanggakan kejawennya. Padahal faktanya, saat di mana Nabi diutus, di sana banyak para penyair, sastrawan dan ahli bahasa. Kelembutan tutur kata juga telah menjadi nilai plus di kalangan orang Arab. Dan sayangnya, sisi ketegasan Nabi tidak ditampakkan dalam tulisan itu, karakter yang lebih dekat dimiliki kebanyakan orang-orang Arab dibanding orang-orang Jawa.
Walhasil, untuk memuliakan kaum, tak perlu menyeret paksa nasab Nabi supaya pantas menjadi keturunan Jawa, sehingga Pulau Jawa terangkat namanya. Cukup dengan mengusahakan takwa untuk mewujudkannya. Karena tak ada bedanya antara kemuliaan orang Arab maupun non Arab, yang menentukan kemuliaan antara satu dengan yang lain adalah tingkatan takwanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ، إِلَّا بِالتَّقْوَى
“Ketahuilah, tak ada keutamaan orang Arab di atas non Arab, atau orang non Arab di atas orang Arab, yang berkulit merah di atas orang yang berkulit hitam, yang berkulit hitam di atas orang yang berkulit merah, melainkan dengan takwa. “ (HR Ahmad dengan sanad yang shahih)
Wallahu a’lam bisshawab.