Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dalilnya Mengerikan, Jenderal Polisi Ini Tak Mau Lagi Jabat Tangan Wanita Non Mahram

Perubahan terus terjadi pada diri Kapolda Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Umar Septono. Terbaru, dia mulai menjaga diri dengan lawan jenis. Tidak lagi berjabat tangan atau bersalaman dengan wanita non mahram.

Dalilnya Mengerikan, Jenderal Polisi Ini Tak Mau Lagi Jabat Tangan Wanita Non Mahram

Umar mengaku baru saja mendapatkan dalil tentang haramnya bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram. Polisi berusia 55 tahun kelahiran Purbalingga Jawa Tengah itu merasa takut.

"Sekarang, tinggal melambaikan tangan kepada ibu-ibu. Biasanya, saya bilang mohon maaf bu ya, tidak bisa salaman lagi dengan wanita. Sunnah Rasul," tutur polisi lulusan Akpol 1985 itu saat menerima pengurus MUI Sulsel di ruang kerjanya, Jumat (25/5/2018).

Saat bertemu perempuan yang ingin bersalaman, mantan kepala Polda NTB itu memberikan penjelasan singkat seputar perubahan dirinya. Penjelasan itu diselingi dengan candaan khas Umar. "Kita jalankan sunnah Rasul Bu, daripada bapak-bapak lakukan sunnah menikah lagi," kata mantan Kakorsabhara Baharkam Polri itu sambil tersenyum.

Sebelumnya, sudah menjadi kebiasaan Umar menyalami setiap orang yang ditemuinya. Entah laki-laki atau perempuan. Tidak melihat apakah itu orang dewasa atau anak-anak. Dia mengaku melakukan itu untuk menyenangkan setiap orang yang dia temui.

Namun, setelah mengetahui ilmu tentang hukum bersentuhan dengan wanita non mahram, mantan wakil kepala Polda Bengkulu ini bertekad untuk tidak lagi bersalaman. Termasuk dengan polisi wanita yang ada di jajarannya. Meski begitu, keramahan Umar tak berkurang. Hanya tidak berjabat tangan.

Ada beberapa hadis Rasulullah yang dijadikan dalil haramnya berjabat tangan dengan wanita non mahram. Salah satunya dari ‘Urwah bin Az Zubair yang berkata bahwa ‘Aisyah radhiyallahu anhu berkata, “Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim Nomor 1866).

Namun, yang paling mengerikan adalah ancaman terhadap pelakunya, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, "Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Lalu, bagaimana pendapat empat mazhab? Berikut uraiannya:

1. Mazhab Hanafi

Ibnu Najim dalam kitab Al-Bahru Ar-Raiq menuliskan, "Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan wanita walaupun aman dari syahwat karena itu diharamkan dan tidak adanya hal yang mendesak (darurat)".

2. Mazhab Maliki

Muhammad bin Ahmad Ulaisy menuliskan dalam kitab Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil, "Tidak boleh bagi ajnabi menyentuh wajah wanita ajnabiyah ataupun kedua telapak tanganya. Tidak boleh meletakkan telapak tangannya di telapak telapak tangan wanita tanpa pelapis."

3. Mazhab Syafi'i

An-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa haram hukumnya berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Imam Waliuddin Al-Iraqi menuliskan di dalam Tarhut Tatsrib, "Nabi tidak pernah menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak melakukannya, maka yang lain semestinya lebih tidak boleh lagi."

Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul-Muin mengatakan, "Sekiranya haram melihatnya, maka haram pula menyentuhnya tanpa pemisah, karena memegang itu lebih menimbulkan ladzah."

4. Mazhab Hanbali

Ibnu Muflih menuliskan di dalam kitabnya Al-Adab Asy-Syar'iyyah, "Imam Ahmad ditanya tentang laki-laki yang bersalaman dengan perempuan. Beliau menjawab,”Sangat-sangat tidak boleh”. Ditanya lagi, "Bagaimana kalau ada lapisan baju?". Beliau menjawab lagi, "Tetap tidak boleh".