Ngeri! Dolar Tembus 14.200, Utang Semakin Membengkak, Bayang-bayang Krismon Kembali Menghantui Indonesia
Rabu (9/5/2018) pukul 09.00 pagi, nilai tukar dolar AS tembus Rp 14.200. Meskipun sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan perbankan masih aman meskipun dolar AS tembus Rp 20.000, secara tidak langsung, kenaikan nilai tukar dolar itu langsung berpengaruh besar terhadap jumlah utang RI.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta tetap waspada terhadap pelemahan kurs rupiah saat ini. Sebab, meski merupakan dampak eksternal, namun pelemahan ini serupa dengan yang terjadi saat krisis moneter (krismon) 1998
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono mengakui, pelemahan ini bukan hanya dialami rupiah saja, tetapi juga mata uang negara lain.
Namun level Rp 14.000 per dolar AS ini mengingatkannya dengan yang terjadi saat krisis 20 tahun lalu.
"Memang betul rupiah melemah tidak sendiri. Tapi saya catat, pemerintah dan BI agak kurang aware karena Rp 14.000 per dolar AS itu agak kurang nyaman. Itu level yang mirip krisis 1998, ini level yang mestinya jangan terlampaui. Pasar melihat situasi ini sudah seperti 1998," ujar dia di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Tony mengungkapkan, kala itu, fundamental ekonomi Indonesia juga dinilai dalam kondisi yang baik. Namun, tiba-tiba Indonesia mengalami krisis dan kondisinya berubah 180 derajat.
"Kita juga pernah alami situasi seperti ini. Kalau disebut fundamental ekonomi, itu seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaksi berjalan, neraca transaksi pembayaran, waktu itu baik-baik saja tapi tiba-tiba terjadi krisis (krismon 1998)," kata dia.
Saat ini, lanjut Tony, krisis dipicu oleh utang luar negeri swasta. Namun belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah kini dinilai telah bisa memantau utang swasta secara baik.
"Kejadian itu muncul karena ada indikator ekonomi yang luput, yaitu utang luar negeri oleh swasta. Karena saat sistem devisa kita bebas, jadi swasta boleh utang keluar negeri bebas dan tidak tercatat. Setelah itu pemerintah Indonesia memaksa utang swasta harus dicatat. Sejak saat itu pemerintah bisa meng-handle utang swasta, berapa besar, jatuh tempo kapan sehingga profil utang kita terkendali. Jadi konsidi utang kita tidak seserius seperti 1998," jelas dia.
Meski demikian, Tony tetap meminta pemerintah untuk lebih waspada dan jangan menganggap enteng masalah pelemahan ini. Sebab, Indonesia masih memiliki sisi yang lemah bisa menjadi pemicu terjadinya krisis.
"Sekarang saya duga ada struktur ekonomi kita yang kurang kuat. Ketika membuat studi soal Indonesia dan Asia Timur, negara seperti Taiwan, Korea ekonominya berorientasinya ekspor, maka dia bisa himpun cadangan devisa yang gede makanya mata uangnya stabil. Yang lemah dari kita soal devisa, karena yang masuk kebanyakan mengandung devisa dari hot money bukan ekspor," tandas dia.
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diminta tetap waspada terhadap pelemahan kurs rupiah saat ini. Sebab, meski merupakan dampak eksternal, namun pelemahan ini serupa dengan yang terjadi saat krisis moneter (krismon) 1998
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono mengakui, pelemahan ini bukan hanya dialami rupiah saja, tetapi juga mata uang negara lain.
Namun level Rp 14.000 per dolar AS ini mengingatkannya dengan yang terjadi saat krisis 20 tahun lalu.
"Memang betul rupiah melemah tidak sendiri. Tapi saya catat, pemerintah dan BI agak kurang aware karena Rp 14.000 per dolar AS itu agak kurang nyaman. Itu level yang mirip krisis 1998, ini level yang mestinya jangan terlampaui. Pasar melihat situasi ini sudah seperti 1998," ujar dia di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Tony mengungkapkan, kala itu, fundamental ekonomi Indonesia juga dinilai dalam kondisi yang baik. Namun, tiba-tiba Indonesia mengalami krisis dan kondisinya berubah 180 derajat.
"Kita juga pernah alami situasi seperti ini. Kalau disebut fundamental ekonomi, itu seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca transaksi berjalan, neraca transaksi pembayaran, waktu itu baik-baik saja tapi tiba-tiba terjadi krisis (krismon 1998)," kata dia.
Saat ini, lanjut Tony, krisis dipicu oleh utang luar negeri swasta. Namun belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah kini dinilai telah bisa memantau utang swasta secara baik.
"Kejadian itu muncul karena ada indikator ekonomi yang luput, yaitu utang luar negeri oleh swasta. Karena saat sistem devisa kita bebas, jadi swasta boleh utang keluar negeri bebas dan tidak tercatat. Setelah itu pemerintah Indonesia memaksa utang swasta harus dicatat. Sejak saat itu pemerintah bisa meng-handle utang swasta, berapa besar, jatuh tempo kapan sehingga profil utang kita terkendali. Jadi konsidi utang kita tidak seserius seperti 1998," jelas dia.
Meski demikian, Tony tetap meminta pemerintah untuk lebih waspada dan jangan menganggap enteng masalah pelemahan ini. Sebab, Indonesia masih memiliki sisi yang lemah bisa menjadi pemicu terjadinya krisis.
"Sekarang saya duga ada struktur ekonomi kita yang kurang kuat. Ketika membuat studi soal Indonesia dan Asia Timur, negara seperti Taiwan, Korea ekonominya berorientasinya ekspor, maka dia bisa himpun cadangan devisa yang gede makanya mata uangnya stabil. Yang lemah dari kita soal devisa, karena yang masuk kebanyakan mengandung devisa dari hot money bukan ekspor," tandas dia.