Sule Digugat Cerai, Begini Penjelasan Ustad Abdul Somad Soal Istri Minta Cerai
Kabar perceraian komedian, Sutisna alias Sule, dengan sang istri Lina terus berhembus.
Sule digugat sang istri, Lina, di Pengadilan Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Informasi itu dibenarkan oleh Humas PA Cimahi, Agus Gunawan.
Ia menerangkan bahwa pihaknya menerima gugatan cerai dari kuasa hukum Lina.
"Iya iya (gugatan cerai Lina terhadap Sule di PA Cimahi)," ujar Agus, Rabu (9/5/2018).
Tetapi Agus tak mau berbicara banyak tentang gugatan cerai yang dilayangkan Lina kepada Sule.
"Nanti kelanjutannya saya cek dulu ya." kata Agus.
Lina mendaftarkan gugatan cerai Sule di PA Cimahi pada 26 April 2018.
Gugatan itu diaftarkan oleh kuasa hukum Lina, Abdurahman T Pratomo.
Nomor perkara gugatan cerai itu terdaftar 3660/Pdt.G/2018/PA.CMi.
Kabar ini banyak membuat publik terkejut.
Mengingat bahtera rumah tangga Sule jarang diterpa gosip miring.
Sule dan Lina menikah sejak 1997.
Dari pernikahan selama 21 tahun, keduanya dikaruniai empat orang anak.
Lalu bagaimana pendapat Ustad Abdul Soma soal istri minta cerai?
Video ceramah Ustad Abdul Somad soal istri minta cerai pernah diunggah oleh channel Youtube Fodamara TV, November 2017.
Ustad Abdul Somad menyatakan bahwa menjadi hak seorang istri menuntut cerai jika suami berkhianat.
Ia menerangkan bahwa istri memiliki lima hak. "Makan, pakaian, tempat tinggal, perhatian, dan pendidikan."
Jika dikhianati suami, istri memiliki hak khuluk atau menuntut cerai.
"Perempuan jangan meminta cerai tapi menuntut cerai, namanya khulu'," terang Ustad Abdul Somad.
Hukum Wanita Minta Cerai Kepada Suami
Dalam setiap pernikahan tentunya memiliki tujuan utama yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah seperti yang diterangkan dalam firman Allah Swt. dalam Surat Ar-Rum ayat 21.
Akan tetapi, seiring dengan kondisi dan keadaan dalam setiap rumah tangga terjadi hal-hal yang ‘tidak mulus-mulus amat’ seperti sering terjadi percekcokan, konflik, kesalahpahaman, dan lainnya.
Pada akhirnya hal tersebut dapat membuat sebuah keluarga ‘kering’ akan keharmonisan, kebahagiaan, dan keserasian. Hal-hal ini membuat para ‘pelaku utama’ pernikahan, yaitu suami dan istri berada dalam kebimbangan dan kegelisahan.
Dengan kebijaksanaannya, islam sebagai agama rahmatan lil’alamin telah mengemas beberapa petunjuk yang dapat dijadikan tuntunan bagi pasangan suami istri yang dirundung kegalauan.
Islam juga telah memberikan solusi dan jalan bagi mereka yang tidak mampu menemukan kebahagiaan dalam berumah tangga dengan cara yang dihalalkan. Meskipun hal tersebut sangat dibenci Allah, yaitu perceraian. Dalam istilah fiqihnya talak (bagi pihak suami) dan khulu’ (bagi pihak istri).
1. Gugat Cerai pada Wanita dan Maknanya
Berbicara mengenai perceraian, maka perlu dipisahkan makna dan pengertiannya. Gugat cerai dilakukan oleh pihak istri yang ditujukan oleh suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Perceraian sendiri tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi. Berbeda dengan cerai talak yang dilakukan suami untuk istrinya, status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.
Perbedaan lainnya antara cerai talak dan gugat cerai adalah istilah yang digunakan. Pada cerai talak terdapat beberapa jenis dan tingkatan (talak 1, 2, dan 3), sedangkan pada gugat cerai terdapat 2 istilah yaitu fasakh dan khulu’. Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi tertentu.
Seperti suami berperilaku buruk, tidak menafkahi istri, melakukan penganiayaan, melakukan tindakan tidak terpujji yang merugikan seperti berjudi, berzina (selingkuh), dan tidak menjalankan kewajiban agama. Sedangkan Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami.
2. Dasar Meminta Cerai pada Suami
Sebagai seorang wanita, terkadang sulit menentukan keputusan untuk bercerai apalagi jika ia sudah memiliki buah hati. Tentu hal ini akan berdampak negatif bagi anak-anaknya kelak. Namun, islam sendiri sudah membuatkan hukum wanita minta cerai atau gugat cerai kepada suami.
Tentu perlu dilakukan atas dasar sebab yang dibenarkan secara syariat. Seperti perlakuan suami yang buruk terhadap dirinya, tidak mencukupkan nafkahnya baik lahir maupun batin, suka memukul, menganiaya, menyiksa, atau tidak ada rasa suka dalam dirinya terhadap suaminya sehingga membuatnya takut akan menelantarkan hak-hak suami.
Hukum wanita minta cerai pada kasus di atas disertai bukti kuat dari pihak istri tentu akan dibolehkan. Hukum wanita minta cerai sendiri akan menjadi sebuah dosa besar jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة
“Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Hadist ini menjelaskan hukum wanita minta cerai dengan menunjukkan ancaman sangat keras apabila meminta perceraian tanpa alasan yang syar’i. Selain itu, hukum wanita minta cerai ini akan dikatakan haram jika tidak ada alasan yang dibenarkan dan juga merupakan suatu bentuk ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang khulu’ dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq” (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ As-Shogiir 1/607)
3. Lalu Bagaimana Jika Hukum Wanita Meminta Cerai Kepada Suami yang Buruk Rupa?
Hukum wanita minta cerai kepada suami yang buruk rupa datang dari kisah istri Tsabit bin Qais. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menyampaikan; Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais, tidaklah aku mencelanya atas agama dan akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Dikisahkan bahwa Tsabit bin Qais merupakan orang dengan paras yang buruk rupa, dan istrinya menceraikannya bukan karena akhlak dan agamanya. Akan tetapi, karena rasa takutnya akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka yang ada dalam dirinya sehingga melakukan sesuatu yang bisa mencederai pernikahannya. Ia tahu bahwa hal itu haram sehingga takut kebenciannya mendorongnya ke dalam keharaman tersebut. Hukum wanita minta cerai atas alasan ini masih diperbolehkan. Sehingga hadist ini menjadi indikator hukum wanita minta cerai karena alasan fisik dan rasa takut akan kufur.
Hadits tersebut menerangkan bahwa rasa benci seorang wanita kepada suaminya karena tidak adanya rasa cinta & takutnya ia akan menelantarkan hak-hak suaminya menjadi satu udzur untuk meminta pisah dari suaminya, tapi bagi wanita tersebut mengajukan khulu’ dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dahulu. Namun jika ia masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.
Karena 6 Alasan Ini, Istri Boleh Meminta Cerai
Rasulullah SAW bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan)
Adapun jika kondisi rumah tangga itu berubah, maka seorang wanita dibolehkan meminta cerai dengan beberapa syarat dan ketentuan. Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta cerai dari suaminya. Berikut penjelasnnya.
Pertama.
Apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya.
Kedua.
Perangai atau sikap seorang suami yang suka mendzalimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor.
Ketiga.
Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang suami yang gemar berbuat dosa, suka minum bir (khomr), suka berjudi, suka berzina (selingkuh), suka meninggalkan shalat, dan seterusnya
Keempat.
Seorang suami yang tidak melaksanakan hak ataupun kewajibannya terhadap sang istri.Seperti contoh sang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, tidak mau membelikan kebutuhan (primer) istrinya seperti pakaian, makan dll padahal sang suami mampu untuk membelikannya.
Kelima.
Seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik, seperti seorang suami yang cacat, tidak mampu memberikan nafkah batin (jimak), atau jika dia seorang yang berpoligami dia tidak adil terhadap istri-istrinya dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau, jarang, enggan untuk memenuhi hasrat seorang istri karena lebih suka kepada yang lainnya.
Keenam.
Hilangnya kabar tentang keberadaan sang sang suami, apakah sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat dari Umar Radhiyallahu’anhu, jangka waktu itu kurang lebih 4 tahun. wallahu a’lam.
Sule digugat sang istri, Lina, di Pengadilan Cimahi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Informasi itu dibenarkan oleh Humas PA Cimahi, Agus Gunawan.
Ia menerangkan bahwa pihaknya menerima gugatan cerai dari kuasa hukum Lina.
"Iya iya (gugatan cerai Lina terhadap Sule di PA Cimahi)," ujar Agus, Rabu (9/5/2018).
Tetapi Agus tak mau berbicara banyak tentang gugatan cerai yang dilayangkan Lina kepada Sule.
"Nanti kelanjutannya saya cek dulu ya." kata Agus.
Lina mendaftarkan gugatan cerai Sule di PA Cimahi pada 26 April 2018.
Gugatan itu diaftarkan oleh kuasa hukum Lina, Abdurahman T Pratomo.
Nomor perkara gugatan cerai itu terdaftar 3660/Pdt.G/2018/PA.CMi.
Kabar ini banyak membuat publik terkejut.
Mengingat bahtera rumah tangga Sule jarang diterpa gosip miring.
Sule dan Lina menikah sejak 1997.
Dari pernikahan selama 21 tahun, keduanya dikaruniai empat orang anak.
Lalu bagaimana pendapat Ustad Abdul Soma soal istri minta cerai?
Video ceramah Ustad Abdul Somad soal istri minta cerai pernah diunggah oleh channel Youtube Fodamara TV, November 2017.
Ustad Abdul Somad menyatakan bahwa menjadi hak seorang istri menuntut cerai jika suami berkhianat.
Ia menerangkan bahwa istri memiliki lima hak. "Makan, pakaian, tempat tinggal, perhatian, dan pendidikan."
Jika dikhianati suami, istri memiliki hak khuluk atau menuntut cerai.
"Perempuan jangan meminta cerai tapi menuntut cerai, namanya khulu'," terang Ustad Abdul Somad.
Hukum Wanita Minta Cerai Kepada Suami
Dalam setiap pernikahan tentunya memiliki tujuan utama yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah seperti yang diterangkan dalam firman Allah Swt. dalam Surat Ar-Rum ayat 21.
Akan tetapi, seiring dengan kondisi dan keadaan dalam setiap rumah tangga terjadi hal-hal yang ‘tidak mulus-mulus amat’ seperti sering terjadi percekcokan, konflik, kesalahpahaman, dan lainnya.
Pada akhirnya hal tersebut dapat membuat sebuah keluarga ‘kering’ akan keharmonisan, kebahagiaan, dan keserasian. Hal-hal ini membuat para ‘pelaku utama’ pernikahan, yaitu suami dan istri berada dalam kebimbangan dan kegelisahan.
Dengan kebijaksanaannya, islam sebagai agama rahmatan lil’alamin telah mengemas beberapa petunjuk yang dapat dijadikan tuntunan bagi pasangan suami istri yang dirundung kegalauan.
Islam juga telah memberikan solusi dan jalan bagi mereka yang tidak mampu menemukan kebahagiaan dalam berumah tangga dengan cara yang dihalalkan. Meskipun hal tersebut sangat dibenci Allah, yaitu perceraian. Dalam istilah fiqihnya talak (bagi pihak suami) dan khulu’ (bagi pihak istri).
1. Gugat Cerai pada Wanita dan Maknanya
Berbicara mengenai perceraian, maka perlu dipisahkan makna dan pengertiannya. Gugat cerai dilakukan oleh pihak istri yang ditujukan oleh suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama.
Perceraian sendiri tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi. Berbeda dengan cerai talak yang dilakukan suami untuk istrinya, status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas.
Perbedaan lainnya antara cerai talak dan gugat cerai adalah istilah yang digunakan. Pada cerai talak terdapat beberapa jenis dan tingkatan (talak 1, 2, dan 3), sedangkan pada gugat cerai terdapat 2 istilah yaitu fasakh dan khulu’. Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi tertentu.
Seperti suami berperilaku buruk, tidak menafkahi istri, melakukan penganiayaan, melakukan tindakan tidak terpujji yang merugikan seperti berjudi, berzina (selingkuh), dan tidak menjalankan kewajiban agama. Sedangkan Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami.
2. Dasar Meminta Cerai pada Suami
Sebagai seorang wanita, terkadang sulit menentukan keputusan untuk bercerai apalagi jika ia sudah memiliki buah hati. Tentu hal ini akan berdampak negatif bagi anak-anaknya kelak. Namun, islam sendiri sudah membuatkan hukum wanita minta cerai atau gugat cerai kepada suami.
Tentu perlu dilakukan atas dasar sebab yang dibenarkan secara syariat. Seperti perlakuan suami yang buruk terhadap dirinya, tidak mencukupkan nafkahnya baik lahir maupun batin, suka memukul, menganiaya, menyiksa, atau tidak ada rasa suka dalam dirinya terhadap suaminya sehingga membuatnya takut akan menelantarkan hak-hak suami.
Hukum wanita minta cerai pada kasus di atas disertai bukti kuat dari pihak istri tentu akan dibolehkan. Hukum wanita minta cerai sendiri akan menjadi sebuah dosa besar jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat.
Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة
“Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut.” (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Hadist ini menjelaskan hukum wanita minta cerai dengan menunjukkan ancaman sangat keras apabila meminta perceraian tanpa alasan yang syar’i. Selain itu, hukum wanita minta cerai ini akan dikatakan haram jika tidak ada alasan yang dibenarkan dan juga merupakan suatu bentuk ciri kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang khulu’ dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq” (lihat At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami’ As-Shogiir 1/607)
3. Lalu Bagaimana Jika Hukum Wanita Meminta Cerai Kepada Suami yang Buruk Rupa?
Hukum wanita minta cerai kepada suami yang buruk rupa datang dari kisah istri Tsabit bin Qais. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma menyampaikan; Istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais, tidaklah aku mencelanya atas agama dan akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Apakah kamu mau mengembalikan kebun miliknya itu?” Ia menjawab, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.” (HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Dikisahkan bahwa Tsabit bin Qais merupakan orang dengan paras yang buruk rupa, dan istrinya menceraikannya bukan karena akhlak dan agamanya. Akan tetapi, karena rasa takutnya akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka yang ada dalam dirinya sehingga melakukan sesuatu yang bisa mencederai pernikahannya. Ia tahu bahwa hal itu haram sehingga takut kebenciannya mendorongnya ke dalam keharaman tersebut. Hukum wanita minta cerai atas alasan ini masih diperbolehkan. Sehingga hadist ini menjadi indikator hukum wanita minta cerai karena alasan fisik dan rasa takut akan kufur.
Hadits tersebut menerangkan bahwa rasa benci seorang wanita kepada suaminya karena tidak adanya rasa cinta & takutnya ia akan menelantarkan hak-hak suaminya menjadi satu udzur untuk meminta pisah dari suaminya, tapi bagi wanita tersebut mengajukan khulu’ dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya dahulu. Namun jika ia masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.
Karena 6 Alasan Ini, Istri Boleh Meminta Cerai
Rasulullah SAW bersabda, “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan)
Adapun jika kondisi rumah tangga itu berubah, maka seorang wanita dibolehkan meminta cerai dengan beberapa syarat dan ketentuan. Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta cerai dari suaminya. Berikut penjelasnnya.
Pertama.
Apabila suami dengan sengaja dan jelas dalam perbuatan dan tingkah lakunya telah membenci istrinya, namun suami tersebut sengaja tidak mau menceraikan istrinya.
Kedua.
Perangai atau sikap seorang suami yang suka mendzalimi istrinya, contohnya suami suka menghina istrinya, suka menganiaya, mencaci maki dengan perkataan yang kotor.
Ketiga.
Seorang suami yang tidak menjalankan kewajiban agamanya, seperti contoh seorang suami yang gemar berbuat dosa, suka minum bir (khomr), suka berjudi, suka berzina (selingkuh), suka meninggalkan shalat, dan seterusnya
Keempat.
Seorang suami yang tidak melaksanakan hak ataupun kewajibannya terhadap sang istri.Seperti contoh sang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, tidak mau membelikan kebutuhan (primer) istrinya seperti pakaian, makan dll padahal sang suami mampu untuk membelikannya.
Kelima.
Seorang suami yang tidak mampu menggauli istrinya dengan baik, seperti seorang suami yang cacat, tidak mampu memberikan nafkah batin (jimak), atau jika dia seorang yang berpoligami dia tidak adil terhadap istri-istrinya dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau, jarang, enggan untuk memenuhi hasrat seorang istri karena lebih suka kepada yang lainnya.
Keenam.
Hilangnya kabar tentang keberadaan sang sang suami, apakah sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat dari Umar Radhiyallahu’anhu, jangka waktu itu kurang lebih 4 tahun. wallahu a’lam.