Nomor Ponsel dan Medsos Mahasiswa Baru Akan Diawasi
Kampus dinilai sebagai tempat potensial dalam penyebaran paham radikalisme. Karena itu, pemerintah merasa perlu untuk mengawasi secara ketat aktivitas seluruh sivitas akademika di perguruan tinggi khususnya para mahasiswa.
Kini, nomor telepon seluler dan media sosial semua mahasiswa baru akan di catat saat proses penerimaan. Hal ini sebagai salah satu alat pemerintah untuk mengawasi penyebaran paham radikalisme di lingkungan kampus.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohammad Nasir meminta seluruh rektor, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), untuk men catat semua nomor ponsel dan media sosial mahasiswa barunya. Dia menjelaskan, pengawasan ini nanti akan di lakukan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
”Tujuannya kami ingin monitoring. Kami akan bekerja sama dengan BIN dan BNPT. Mereka yang punya hak (untuk mengawasi),” katanya seusai rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta kemarin. Mantan rektor Universitas Diponegoro ini mengatakan, semua perekaman data baru ini harus dipimpin langsung oleh rektor. Jika mahasiswa baru pada saat proses penerimaan, maka seluruh pegawai dan dosen harus didata sekarang juga.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui mana yang terpapar radikalisme sehinga bisa segera di ambil tindakan. Namun sebelum diambil tindakan tegas, kata dia, perlu ada pendekatan yang persuasif untuk mengajak mereka kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Langkah ini terinspirasi dari peristiwa di Bandung.
Menurut Nasir, mahasiswa di Bandung itu selama kuliah tidak mengikuti kegiatan yang mengarah ke radikalisme sebab kampus melarang. Ternyata, setelah ditelusuri, Nasir mendapatkan informasi bahwa mahasiswa menggunakan media sosial dalam menyalurkan pemikiran-pemikirannya. Karena itu, media sosial bisa digunakan untuk mem permudah melacak hubungan mahasiswa itu dengan paham radikal yang dianutnya.
Nasir mengatakan, kementerian juga akan bekerja sama dengan BNPT untuk meng awasi kegiatan di kampus. Bukan hanya organisasi-organisasi di kampus, melainkan juga ke forum majelis dan dakwah kampus. Pengawasan ini bukan berarti pemerintah mau memberangus kebebasan kampus. Kajian ajaran lain dipersilakan asalkan masih dalam ranah akademik.
Yang perlu ditekankan lagi adalah bahwa negara telah memilih Pancasila sebagai ideologi. Menristek-Dikti pun menitip pesan kepada para orang tua mahasiswa baru, terutama orang tua yang anaknya kuliah di tujuh kampus yang disebut BNPT terpapar radikalisme. Ketujuh kampus itu ialah UI, ITB, IPB, Undip, ITS, Unair, dan Unbraw.
Menurut dia, orang tua tidak perlu takut. Namun, dia menyarankan untuk ikut mengawasi anaknya sebab di area akademik semua mahasiswa boleh bebas dalam berpikir. Nasir menilai radikalisme ini tidak hanya terjadi di tujuh kampus, tetapi bisa juga terjadi di seluruh perguruan tinggi.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Asep Saefuddin berpendapat, pemerintah memang bisa saja melihat perilaku mahasiswa dan dosen melalui media sosial dan ponsel. Namun, dia mengkritisi bahwa hal ini tidak perlu digembar-gemborkan karena bisa saja akun medsos akan langsung dihapus.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menjelaskan, untuk mengatasi radikalisme akan lebih baik jika pemerintah melakukan pendekatan humanis dan persuasif. Pasalnya, dia menilai jika pemerintah tetap akan mendata dan mengawasi medsos dan HP mahasiswa maka hanya akan membuang waktu.
“Itu wasting time, sebab jumlah dosen kan puluhan ribu. Belum lagi jumlah mahasiswanya,” katanya di Jakarta. Asep menekankan, upaya untuk menanggulangi aliran radikalisme itu yang paling utama. “Kami tidak menafikan ada kelompok yang ingin mengganggu seperti aliran radikalisme yang tidak sesuai falsafah negara. Namun jangan sampai membuat kehebohan,” katanya.
Asep mengatakan akan lebih baik jika pemerintah mempercayakan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk penga was an itu, sebab data yang dimiliki kampus lebih detail daripada data yang berseliweran dari pihak lain. “Pemerintah lebih baik melakukan upaya dialogis kepada pihak kampus. Jangan menggunakan upaya instruktif,” tegasnya.
Asep menjelaskan, pimpinan perguruan tinggi juga harus diberi kepercayaan untuk melakukan pendekatan yang lebih edukatif terhadap mahasiswa dan dosennya. Dia menilai pimpinan memiliki trik yang lebih edukatif untuk meredam radikalisme di lingkungan yang dia kenal.
Kemenag Garda Terdepan
Merebaknya paham radikalisme, terutama di kalangan sekolah dan perguruan tinggi, menjadi sorotan serius kalangan DPR. Untuk menanggulangi maraknya penyebaran paham radikalisme, wakil rakyat di Senayan mendesak Kementerian Agama (Kemenag) menjadi garda terdepan (leading sector) dalam pencegahan masuknya radikalisme di dunia pendidikan.
Ketua Komisi VIII DPR M Ali Tahir menuturkan, isu radikalisme jangan sampai melemahkan NKRI. Karena penyebaran paham radikalisme kerap masuk di lingkungan sekolah, ini menjadi tanggung jawab Kemenag untuk melakukan pencegahan.
“Setiap orang yang beragama dengan benar pasti akan menghargai posisi sebagai anak bangsa, sehingga apa yang didorong DPR itu menjadi penting,” tutur anggota Fraksi PAN tersebut di sela rapat dengan jajaran Kemenag di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menambahkan, selama ini penanganan pencegahan hanya bisa di lakukan BNPT secara sporadis.
Karena itu, Kemenag harus lebih proaktif dengan mengoptimalkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama untuk menekan penyebaran paham radikalisme. Anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak menambahkan, negara kerap terlambat dalam menanggulangi radikalisme sehingga BNPT sering kewalahan.
“Karena itu, bagaimana Kemenag menjadi benteng dalam perilaku umat, terutama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, Kemenag harus jadi leading sector khususnya di tingkat pencegahan,” paparnya. Sementara itu, Menag Lukman menuturkan bahwa upaya pencegahan sudah dilakukan oleh guru dan dosen di bawah Kemenag.
Apa yang terjadi di Universitas Negeri Riau, kata Menag, diharapkan tidak terjadi di kampus-kampus lain. Menurutnya, masalah penyebaran paham radikalisme sangat kompleks. Namun, salah satu pengaruh yang signifikan adalah keterbatasan pemahaman ayat-ayat Alquran dalam konteks peperangan yang diterapkan di masa damai seperti saat ini.
Karena itu, kata Menag, rektor, dekan, dan semua pimpinan perguruan tinggi juga para mahasiswa harus bisa menjaga wilayah kampusnya agar tidak ada kegiatan apapun yang berkaitan dengan terorisme,” tuturnya.
Kini, nomor telepon seluler dan media sosial semua mahasiswa baru akan di catat saat proses penerimaan. Hal ini sebagai salah satu alat pemerintah untuk mengawasi penyebaran paham radikalisme di lingkungan kampus.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti) Mohammad Nasir meminta seluruh rektor, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), untuk men catat semua nomor ponsel dan media sosial mahasiswa barunya. Dia menjelaskan, pengawasan ini nanti akan di lakukan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
”Tujuannya kami ingin monitoring. Kami akan bekerja sama dengan BIN dan BNPT. Mereka yang punya hak (untuk mengawasi),” katanya seusai rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Jakarta kemarin. Mantan rektor Universitas Diponegoro ini mengatakan, semua perekaman data baru ini harus dipimpin langsung oleh rektor. Jika mahasiswa baru pada saat proses penerimaan, maka seluruh pegawai dan dosen harus didata sekarang juga.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui mana yang terpapar radikalisme sehinga bisa segera di ambil tindakan. Namun sebelum diambil tindakan tegas, kata dia, perlu ada pendekatan yang persuasif untuk mengajak mereka kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Langkah ini terinspirasi dari peristiwa di Bandung.
Menurut Nasir, mahasiswa di Bandung itu selama kuliah tidak mengikuti kegiatan yang mengarah ke radikalisme sebab kampus melarang. Ternyata, setelah ditelusuri, Nasir mendapatkan informasi bahwa mahasiswa menggunakan media sosial dalam menyalurkan pemikiran-pemikirannya. Karena itu, media sosial bisa digunakan untuk mem permudah melacak hubungan mahasiswa itu dengan paham radikal yang dianutnya.
Nasir mengatakan, kementerian juga akan bekerja sama dengan BNPT untuk meng awasi kegiatan di kampus. Bukan hanya organisasi-organisasi di kampus, melainkan juga ke forum majelis dan dakwah kampus. Pengawasan ini bukan berarti pemerintah mau memberangus kebebasan kampus. Kajian ajaran lain dipersilakan asalkan masih dalam ranah akademik.
Yang perlu ditekankan lagi adalah bahwa negara telah memilih Pancasila sebagai ideologi. Menristek-Dikti pun menitip pesan kepada para orang tua mahasiswa baru, terutama orang tua yang anaknya kuliah di tujuh kampus yang disebut BNPT terpapar radikalisme. Ketujuh kampus itu ialah UI, ITB, IPB, Undip, ITS, Unair, dan Unbraw.
Menurut dia, orang tua tidak perlu takut. Namun, dia menyarankan untuk ikut mengawasi anaknya sebab di area akademik semua mahasiswa boleh bebas dalam berpikir. Nasir menilai radikalisme ini tidak hanya terjadi di tujuh kampus, tetapi bisa juga terjadi di seluruh perguruan tinggi.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Asep Saefuddin berpendapat, pemerintah memang bisa saja melihat perilaku mahasiswa dan dosen melalui media sosial dan ponsel. Namun, dia mengkritisi bahwa hal ini tidak perlu digembar-gemborkan karena bisa saja akun medsos akan langsung dihapus.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia ini menjelaskan, untuk mengatasi radikalisme akan lebih baik jika pemerintah melakukan pendekatan humanis dan persuasif. Pasalnya, dia menilai jika pemerintah tetap akan mendata dan mengawasi medsos dan HP mahasiswa maka hanya akan membuang waktu.
“Itu wasting time, sebab jumlah dosen kan puluhan ribu. Belum lagi jumlah mahasiswanya,” katanya di Jakarta. Asep menekankan, upaya untuk menanggulangi aliran radikalisme itu yang paling utama. “Kami tidak menafikan ada kelompok yang ingin mengganggu seperti aliran radikalisme yang tidak sesuai falsafah negara. Namun jangan sampai membuat kehebohan,” katanya.
Asep mengatakan akan lebih baik jika pemerintah mempercayakan kepada pimpinan perguruan tinggi untuk penga was an itu, sebab data yang dimiliki kampus lebih detail daripada data yang berseliweran dari pihak lain. “Pemerintah lebih baik melakukan upaya dialogis kepada pihak kampus. Jangan menggunakan upaya instruktif,” tegasnya.
Asep menjelaskan, pimpinan perguruan tinggi juga harus diberi kepercayaan untuk melakukan pendekatan yang lebih edukatif terhadap mahasiswa dan dosennya. Dia menilai pimpinan memiliki trik yang lebih edukatif untuk meredam radikalisme di lingkungan yang dia kenal.
Kemenag Garda Terdepan
Merebaknya paham radikalisme, terutama di kalangan sekolah dan perguruan tinggi, menjadi sorotan serius kalangan DPR. Untuk menanggulangi maraknya penyebaran paham radikalisme, wakil rakyat di Senayan mendesak Kementerian Agama (Kemenag) menjadi garda terdepan (leading sector) dalam pencegahan masuknya radikalisme di dunia pendidikan.
Ketua Komisi VIII DPR M Ali Tahir menuturkan, isu radikalisme jangan sampai melemahkan NKRI. Karena penyebaran paham radikalisme kerap masuk di lingkungan sekolah, ini menjadi tanggung jawab Kemenag untuk melakukan pencegahan.
“Setiap orang yang beragama dengan benar pasti akan menghargai posisi sebagai anak bangsa, sehingga apa yang didorong DPR itu menjadi penting,” tutur anggota Fraksi PAN tersebut di sela rapat dengan jajaran Kemenag di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menambahkan, selama ini penanganan pencegahan hanya bisa di lakukan BNPT secara sporadis.
Karena itu, Kemenag harus lebih proaktif dengan mengoptimalkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama untuk menekan penyebaran paham radikalisme. Anggota Komisi VIII DPR Deding Ishak menambahkan, negara kerap terlambat dalam menanggulangi radikalisme sehingga BNPT sering kewalahan.
“Karena itu, bagaimana Kemenag menjadi benteng dalam perilaku umat, terutama di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, Kemenag harus jadi leading sector khususnya di tingkat pencegahan,” paparnya. Sementara itu, Menag Lukman menuturkan bahwa upaya pencegahan sudah dilakukan oleh guru dan dosen di bawah Kemenag.
Apa yang terjadi di Universitas Negeri Riau, kata Menag, diharapkan tidak terjadi di kampus-kampus lain. Menurutnya, masalah penyebaran paham radikalisme sangat kompleks. Namun, salah satu pengaruh yang signifikan adalah keterbatasan pemahaman ayat-ayat Alquran dalam konteks peperangan yang diterapkan di masa damai seperti saat ini.
Karena itu, kata Menag, rektor, dekan, dan semua pimpinan perguruan tinggi juga para mahasiswa harus bisa menjaga wilayah kampusnya agar tidak ada kegiatan apapun yang berkaitan dengan terorisme,” tuturnya.