Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Petir Mengiringi Penguburan Kepala Sekolah Yang Zalim

Petir menyambar-nyambar. Tanah di sekitar pemakaman itu berguncang-guncang. Sebagian pengiring lari terbirit-birit menyelamatkan diri, sebagian lagi mati langkah tak tahu harus berbuat apa. Suasana siang itu seperti neraka bagi pengiring jenazahnya.

Subhanallah! Dianggap Orang Gila, Tapi Berkurban Seekor Sapi

Sungguh menyedihkan nasib Pak Santoso (bukan nama sebenarnya). Di Akhir masa tugasnya, ia harus menderita sekian lama. Alkisah, sudah beberapa hari, kedua kakinya tak bisa digerakkan. Lumpuh padahal, kedua kaki inilah yang dipergunakannya untuk aktivitas sehari-hari.

Di atas pembaringan, lelaki itu tak henti-hentinya mengumpat dirinya sendiri. Terkadang menyebut-nyebut kata-kata "Tuhan tidak adil" lantaran dianggap memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada dirinya. "Ya Allah, kenapa Engkau memberikan penyakit demikian ini kepadaku? Kapan penderitaan yang Engkau timpakan kepadaku ini berakhir? Engkau tidak adil, Tuhan," tangannya menggebrak-gebrak pembaringan saking kesalnya.

Rupanya dalam kondisi demikian, Santoso belum menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya. Ia masih saja membenarkan tindakannya. Buktinya tak ada kata penyesalan, yang terjadi malah menyalahkan Tuhan. Padahal jika mau merenung lebih dalam, penyakit yang menderanya semestinya menjadi ajang introspeksi baginya.

"Sudahlah, Pak, jangan mengeluh terus! Lebih baik banyak berdoa semoga lekas diberikan kesembuhan oleh Allah swt., selain berikhtiar dengan meminum obat dari dokter," saran isterinya, menenangkan.

"Berdoa terus, berdoa terus! Aku sudah bosan. Penyakit ini juga tak kunjung sembuh. Ibu tak perlu terus-terusan menasehati aku. Kalau benar, Allah itu mendengar dan mengabulkan setiap doa dari hamba-Nya, kenapa permintaanku yang satu ini tak juga dikabulkan," jawab Pak Santoso ketus.

"Istigfar, Pak! Istigfar!"

"Halaah...."

Semula hanya di bagian kaki saja, ia mengalami kelumpuhan. Tetapi kian hari, penyakit itu justru makin menjalar ke mana-mana hingga sekujur tubuhnya. Hanya di beberapa bagian tertentu yang masih bisa digerakkan, seperti mulut untuk menerima asupan makanan yang diberikan oleh isterinya dengan setia, dan kedua tangannya yang sudah mulai lemah lunglai.

Roman lelaki itu nampak lebih tua dari umurnya. Berkeriput dan makin tak berisi. Bicaranya pun sudah terbata-bata, jauh sekali dengan waktu bugarnya yang keras, temperamen dan mudah meledak.

Sang isteri, Ida, tak kuasa melihat kondisi suaminya yang memprihatinkan. Air matanya berderai membasahi pipi, Hatinya terasa diiris-iris.

KEBUSUKAN TERBONGKAR

"Tok....tok....tok....! Asalamu'alaikum!" Suara ketukan itu langsung menyadarkan lamunan Ibu Ida.

"Wa'aikumsalam," ibu Ida menjawab sembari menyeka sisa-sisa tetesan air matanya.

Di ruangan itu, sang tamu ayng rupanya adalah rekan suaminya di sekolah datang untuk membesuk suaminya. Begitu melihat Ibu Shaleha, tangan Santoso melambai lemah. Mulutnya bergerak-gerak berat seakan hendak mengutarakan sesuatu yang sangat serius kepada tamunya.

Tamu itu mendekat di tepi pembaringan. Dilihatnya wajah Kepala Sekolah itu benar-benar menyedihkan. Sementara itu, istri Santoso memperhatikan apa yang hendak dikatakan suaminya kepada ibu bendahara tersebut.

"Ma...ma..., maafkan saya! Saya banyak berbuat salah kepada Ibu," bibir Pak Santoso terbata-bata, meminta maaf.

"Saya sering menyusahkan, Ibu, sampai-sampai Ibu bertengkar hebat dengan suami gara-gara ulah saya. Mohon maafkan saya, Ibu," lanjut Pak santoso lirih sembari merengek-rengek.

Ibu Shaleha terharu atas permohonan maaf atasannya itu. Sebab, selama ini, atasan yang dikenalnya itu sangat temperamen dan selalu menekan bawahannya agar menuruti kemauannya. Akan tetapi, kali ini, terdengar sekali pengakuan kesalahannya. Meski Pak Santoso tak mampu lagi menjelaskan kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya, namun Ibu Shaleha sudah bisa memahami bahwa memang begitu banyak hal yang membuatnya kesal tatkala Pak Santoso masih aktif menjabat sebagai kepala sekolah. Sekali pun dalam bibir Ibu Shaleha mengiyakan permohonan maaf tersebut, namun dalam hatinya belum bisa sepenuhnya melupakan kelakuan buruk atasannya.

Sebaliknya, Ibu Ida tersentak kaget. Ada apa gerangan? Ia tak mengerti maksud suaminya memohon-mohon kepada tamunya itu. Dalam hati menyelidik, pastilah ada sesuatu kesalahan besar yang dilakukan oleh suaminya yang luput dari pengetahuannya. Namun, ia menahan untuk tidak menanyakan kepada suaminya langsung mengingat kondisi fisiknya yang tak memungkinkan bicara panjang lebar.

Setelah didesak, Ibu Shaleha sendiri akhirnya membeberkan segala hal yang menyangkut tindakan Pak Santoso di sekolah. Ternyata keborokannya di sekolah terungkap juga. Ibu Ida Shock.

Ketika banyak orang di lingkungan sekolah, terutama guru-guru sudah hapal dengan tabiat suami yang kurang baik, istrinya sendiri baru mengetahuinya dari ibu bendahara tersebut.

SEPERTI NERAKA

Tak kuat menahan derita yang bersarang ditubuhnya, Akhirnya, hari kematian Pak Santoso tiba. Sudah jadi tradisi masyarakat setempat, jika ada warga muslim yang meninggal maka warga berduyun-duyun untuk bertakziah, menghibur keluarga yang ditinggalkan hingga mengikuti prosesi pemakaman usai.

Siang itu, langit terlihat cerah. Warga yang bermaksud mengantarkan jenazah ke pemakaman lumayan banyak. Perjalanan dari rumah duka menuju area pemakaman kampung lancar-lancar saja. Liang lahat pun sudah disiapkan.

Tibalah saat penguburan itu. Namun, yang terjadi sungguh mencengangkan. Liang Lahat yang sudah diukur secara akurat itu ternyata kekecilan. Terpaksa penggali kembali melaksanakan tugasnya. Di waktu yang sama, tiba-tiba, langit yang lumayan cerah tadi meredup. Mendung pekat, tanda hujan besar bakal mengguyur bumi.

Melihat kondisi ini, pelebaran galian lebih cepat dilakukan. Jenazah coba di masukkan kembali. Belum sampai jenazah masuk ke liang lahat mendadak kilatan petir menghantam, tidak jauh dari tempat itu.

"Duaarrr.....!" Suara petir keras menggelegar di angkasa.

Tidak lama berselang. "Kraaakkkk......Buuummmm....", bunyi batang pohon patah dan menghantam bumi. "Duarrrr.....! Duarrrr.....!.....Duar.......!" Petir kembali menyambar-nyambar. Tanah di sekitar pemakaman itu seolah berguncang karena hantaman petir yang susul-menyusul. Sebagian pengiring jenazah lari terbirit-birit menyelamatkan diri, sebagian lagi mati langlah karena tak tahu harus berbuat apa. Suasana siang itu seperti neraka bagi pengiring jenazah Pak Santoso.

Hujan lebat mengguyur pemakaman. Para pengiring mulai membaca situasi tak mengenakkan ini. Mereka menduga apa yang baru saja mereka alami bukan suatu kewajaran. Lantas, salah seorang melaporkan kejadian ini kepada istri Pak Santoso. Ibu Ida ingat pada Ibu Shalehah yang sering dizalimi oleh suaminya ketika dinas bersama di sekolah.

Kesalahan suaminya bertumpuk-tumpuk, terutama Ibu Shaleha sendiri, guru-guru dan wali murid. Oleh karenanya, Ibu Ida berinisiatif untuk memintakan maaf kembali kepada Ibu Shaleha agar prosesi pemakaman suaminya yang tertunda akan lancar-lancar saja.

Setengah jam kemudian, hujan reda, Penggalian pun kembali dilakukan. Namun pengiring yang masih ada di lokasi pemakaman tinggal separuhnya karena sebagian yang lain memilih pulang. Air hujan yang sempat menggenangi liang lahat pun segera dikuras habis. Doa-doa dipanjatkan oleh sang ustad agar tidak terjadi apa-apa lagi. Alhamdulillah kali ini berjalan sesuatu yang diharapkan.