Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjerat Rentenir, Hidupnya Nelangsa

Rahmi dan Adi memang mengawali hidupnya dari nol. Tanpa modal apa-apa. Karena itu mereka rela bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Celakanya, nyaris tiap tahun wanita itu hamil karena tidak ber-KB.

Terjerat Rentenir, Hidupnya Nelangsa

Bayangkan, sepuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga, sepuluh kehamilan pula yang dirasakan Rahmi. Meski tak semua anak terlahir, lima selamat, lima keguguran. Dengan kondisi seperti itu, praktis mereka menjalani roda kehidupan begitu berat.

Namun hebatnyam Rahmi bukan sosok wanita lemah. Di kehamilan anak yang kedua, ia sudah turut banting tulang untuk menopang kondisi ekonominya dengan berjualan sayur keliling dengan gerobak dorong.

Berhenti menjadi penjual sayur keliling, Rahmi membuat bantal dan guling di rumah dengan dibantu ibunya. Usaha ini ternyata jauh lebih menjanjikan. Sayangnya, modal yang dimiliki Rahmi cekak sehingga ia kebingungan.

Bagaimana tidak, gaji suaminya tidak mencukupi. Sementara uang hasil penjualan bantal sudah diputar lagi untuk membeli kain, benang dan sebagainya, juga susu, nasi tim untuk kedua bocah balitanya.

MODAL DARI PINJAMAN

Hidup dengan banyak anak memang tidak enteng apalagi jika tak mempunyai penghasilan memadai untuk menopang kehidupan sehari-hari. Beruntung Rahmi dan Adi masih mampu mencukupi dari usaha serabutan, tetapi setelah kelahiran anak kedua, ketiga dan seterusnya, mereka harus bekerja ekstra keras agar tetap survive menjalani hidup.

Ditekuninya bisnis kecil-kecilan dagangan bantal dan gulingnya. Alhamdulillah lama-kelamaan meningkat, tapi Rahmi kelabakan tatkala permintaan bertambah, justru modalnya habis. Rahmi memutar keras otaknya dengan apa agar bisa memajukan usahanya.

"Ini kesempatan yang bagus buatku. Lagi pula penyedia bahan pembuat bantal sudah menawarkan berkarung-karung sisa busa dari pabrik pembuatan spring bed," batin Rahmi.

Tak berapa lama, tiba-tiba, ia teringat salah seorang pelanggannya yang membeli bantalnya tempo hari yang menyarankan untuk mencari pinjaman pada koperasi keliling.

Dengan sangat terpaksa, Rahmi mulai akrab dengan rentenir yang mengaku sebagai koperasi keliling. Dan sudah jamak bagi kita, pinjam-meminjam model seperti ini berbunga dan sangat mencekik peminjam.

Sebagian dari penjualan, disisihkan untuk membayar pinjamannya. Awalnya lancar, lalu pinjaman kedua dinaikkan. Lancar juga, pihak Bank keliling menaruh kepercayaan pada Rahmi sebagai nasabahnya.

Mungkin keberuntungan sedang berpihak pada Rahmi waktu itu. Penjual barang-barangnya maju pesat, baik yang dititipkan di toko-toko maupun dari jualan keliling yang dilakukannya sendiri. hasilnya Rahmi mampu membeli rumah sendiri, motor dan perabotan-perabotan rumah tangga meski sebagian besar dengan cara mengangsur.

Untuk memajukan usahanya, Rahmi merekrut beberapa ibu tetangga sekitarnya. Mereka ditugaskan untuk memotong busa, mengisi dan menjahit bantal atau guling. Jadi tidak bertumpu pada ibu Rahmi sendiri, seperti yang selama ini mereka lakukan. Memang ibunya Rahmi yang sudah janda membantunya. Ia memiliki kepandaian menjahit juga mengasuh anak-anak Rahmi yang masih kecil.

Wanita pekerja keras ini berpikir, bisnisnya akan jauh lebih maju jika ditopang dengan modal lebih besar. Karena itu, Rahmi memberanikan diri untuk meminjam uang pada koperasi keliling lebih besar, bukan hanya satu koperasi tapi tiga sekaligus. jadi bisa diterka, cicilan tiap harinya pun gila-gilaan.

Sayang, kejayaan usaha Rahmi tidak bertahan lama, pasalnya ia tersandung hutang yang besar. Ternyata di samping cicilan koperasi yang harus dilunasi, wanita sawo matang itu membayar hutang juga pada beberapa teman dan tetangganya.

Sementara di rumahnya, ia juga harus menanggung sebelas orang anggota keluarga, yang terdiri dari anak-anaknya, kerabat dan teman suaminya. Belum lagi susu untuk ketiga anaknya yang masih kecil lalu kebutuhannya yang sedang hamil. Benar-benar besar pasak daripada tiang.

Kecemasan, ketakutan, keletihan mulai menggelayuti Rahmi. Debt collector terus mengejarnya dari hari ke hari agar mau membayar cicilannya secara rutin. Sebenarnya, bisa saja ia menghindar sejenak namun dipikir-pikir toh hanya bisa menyelamatkan fisiknya untuk sementara waktu saja, tetapi batin tetap tidak tenang. Dikejar hutang, benar-benar menjadi mimpi buruk yang tak pernah dibayangkan.

Kondisi ini memaksanya untuk banting tulang. Buktinya belum juga empat puluh ahri lepas melahirkan putri kelimanya, Rahmi sudah memikul bantal, berkeliling, kejar setoran. Yang jadi korban, tentu saja anaknya. Ia hanya sebulan menyusui ASI untuk anaknya karena bulan berikutnya sudah kering.

Rahmi menjerit sedih, menyesal, namun tak tahu lagi harus berbuat apa. Resiko mengambil koperasi dan berhutang, ia mesti bertanggung jawab.

Sementara Adi, suaminya yang tampan, tidak bisa diandalkan. sebaliknya, ia malah masa bodoh dengan jeritannya. Adi justru menyalahkan Rahmi lantaran sudah diingatkan berulang kali agar jangan meminjam uang pada rentenir tetapi nekat juga.

Tak sejalannya pemikiran suami istri ini membuat keduanya sering terlibat adu mulut. Pertengkaran demi pertengkaran telah menjadi santapan sehari-hari. Situasi di dalam rumah tersebut seperti neraka.

"Aku sudah mati-matian bekerja hingga larut malam dengan perut membuncit. Dari ujung ke ujung menenteng bantal, berteriak sepanjang jalan dan lorong rumah demi membayar cicilan koperasi dan untuk kebutuhan rumah tangga kita. Ehhh... Abang malah enak-enakan seperti tanpa beban. Mbok ya... ikut bantu memikirkan bagaimana membereskan hutang-hutang itu."

"Salah siapa? Yang mengambil operasi itu kamu. Jadi kamu pula yang harus menyelesaikannya," jawab Adi ketus.

Muka Adi cemberut penuh kebencian. Rahmi sendiri sangat kesal melihat suaminya tidak peduli dan membiarkannya dikejar-kejar kolektor hutang dan harus pontang-panting membayarnya seorang diri.

"Bang! Uang itu bukan saya makan sendiri. Bukan untuk beli baju atau make up tapi untuk modal. Untuk beli busa, bayar motor, bayar rumah dan makan kita," timpal Rahmi dengan berurai air mata, putus asa menyaksikan kekerasan hati suaminya.

"Itu urusanmu. Sudah pernah kukatakan, jangan ambil koperasi, tapi dasar keras kepala, kamu tak turuti kata-kataku. Kamu tetap mengambilnya. Kamu tahu sendiri kan? Hari ini kita mengambil uang mereka, besok sudah mulai mengangsurnya. Hanya numpang sebentar di tangan, tak lebih," kata Adi dengan nada tinggi.

Habis sudah harapan Rahmi. Maksud hati ingin berbagi bersama agar bisa menemukan solusi terbaik mengatasi problem hutang yang demikian besar, tetapi yang didapatkan justru sebaliknya. Kemarahan dan kekesalan.

Sang suami, yang memang usianya enam tahun lebih muda darinya seolah lepas tangan ketika diajak rembukan masalah ini. Hanya mau menikmati enaknya saja tatkala usahanya mencapai kejayaan, tetapi acuh tatkala diminta membantu untuk menyelesaikan hutang-hutang.

Rahmi tak bisa menyembunyikan kekecewaannya, ia seakan menanggung beban berat ini sendirian. Kadang-kadang muncul rasa sesal dalam dirinya betapa lelaki yang dicintainya itu seperti sudah tidak memikirkan dirinya lagi.

YANG TERSISA HANYALAH PENYESALAN

Waktu terus brgulir, tanda-tanda kebangkrutan usaha Ramhmi mulai tampak. Ini terlihat dari besarnya tanggungan yang mesti dikeluarkan, baik untuk membayar hutang maupun kebutuhan keluarga. Makin lama makin membengkak. Perlahan disadari, antara pendapatan yang didapatkan dari usahanya dengan kebutuhananya ternyata njomplang. Jauh lebih besar pengeluarannya ketimbang penghasilan yang diterimanya.

Sepertinya hutang Rahmi tak kunjung terlunasi walaupun sudah diangsur terus-menerus. Bunganya seakan berlipat-lipat dari modal awal yang dipinjamnya. Baru dirasakan kini, ternyata bermain riba sungguh mencekik lehernya.

Terpaksa, rumah dari hasil bantal di jual, begitu pun dua bidang tanah yang dimilikinya. Rahmi juga harus menjual motornya. Semuanya ludes untuk membayar hutang yang menggunung itu. Selepas tak memproduksi bantal, Rahmi berjualan CD/DVD. keliling dari rumah ke rumah, warung hingga pasar, dari hasil penjualan itu ia menyelesaikan hutang yang tersisa.

Hidup Rahmi nelangsa, berbalik total dari masa jayanya. Dengan sisa uang di tangannya, mereka membiasakan diri hidup seadanya. Di tengah kondisi yang terpuruk itu, hati Rahmi bertambah remuk redam mengetahui suaminya menjadi buronan polisi karena suatu kasus. Suaminya diduga merusak kehormatan seorang gadis. Jadi jangankan membantu istri yang kelabakan membayar hutangnya, sang suami justru sibuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi.

Penyesalan memang selalu datang belakangan, tapi terlembat masih lebihbaik untuk menatap hidup ke depan. Mungkin inilah hikmah berharga yang didapatkan Rahmi. Kini, Rahmi menyadari bahwa bernafas dari sumber riba sungguh menyesakkan dada, hidupnya tersengal-sengal dan tak tenang. Kalau pun dulu sempat mengalami kesuksesan, sejatinya hanyalah semu belaka, karena kesuksesan yang hakiki adalah yang membuat hidup bisa tenang, damai dan mendapat ridha Ilahi.

Di pojok teras rumah kecil yang sederhana itu, Rahmi melepas lelah sembari berbincang ringan dengan ibunya. Sesekali ia menoleh anak-anaknya yang bercanda ria di sore itu. Ada senyum kecil lepas dari bibirnya. Lega.

Bantu Share Juga Ke WHATSAPP Ya Sahabat. :) Terima Kasih